Wednesday, February 4, 2015

#3: Never Give Up!

Halo! Apa kabar, Nak? Berhubung ibumu belum juga menunaikan kewajibannya untuk menulis di sini, maka aku membuat surat ketiga ini. Isinya agak serius. Semoga kau sudah cukup besar untuk memahaminya.

Jadi ceritanya, beberapa waktu yang lalu aku terlibat dalam sebuah pembuatan film dokumenter tentang kehidupan masyarakat Suku Dayak yang tinggal di kaki Gunung Meratus. Tempat tinggal mereka itu sangat jauh dari ibukota kecamatan, Nak, apalagi kota betulan.

Nah, ada satu anak bernama Pi'ik Laura, umurnya dua belas. Dia ini termasuk anak yang desanya berada paling ujung. Jarak dari rumahnya ke sekolah adalah tiga jam berjalan kaki. Bayangkan, tiga jam! Itu hanya untuk sekali jalan. Jadi setiap hari dia harus berjalan kaki selama enam jam menembus hutan untuk bisa pergi sekolah, dan pulang lagi ke rumahnya. Enam jam!

Hebatnya, Nak, aku tidak melihat lelah dalam matanya. "Meski badai, meski seragam saya basah kuyup, saya tetap berangkat sekolah. Saya ingin jadi pintar, saya ingin jadi guru," katanya padaku. Bukan hanya itu, si Pi'ik yang namanya berarti kecil dalam bahasa Dayak ini, setiap hari harus keluar masuk hutan, mencari buah dan memetik daun singkong, dan memasak untuk ibunya yang sakit.

Nak, kami akan berusaha supaya bisa membelikanmu sepatu lebih dari satu, dan semoga semesta berkenan mengabulkannya. Tapi ketahuilah, Pi'ik hanya punya sepasang sepatu. Karena takut rusak, ia tidak memakai sepatu pemberian temannya ini sepanjang perjalanan. Dari rumahnya, ia akan berjalan bertelanjang kaki selama dua jam, kemudian sampai di desa tempat saudaranya tinggal untuk memakai sepatu yang ia titipkan setiap hari, kemudian melanjutkan sisa satu jam perjalannya dengan hati-hati agar sepatunya tidak lecet atau kotor.

Nak, selama ini aku nyaris percaya cerita-cerita macam itu hanya ada dalam film, televisi, atau novel inspiratif macam Laskar Pelangi. Orang-orang seperti Pi'ik itu bukan hanya rumahnya yang jauh, tapi cara dia menjalani hidup juga jauh dari imajinasi kita orang kota modern ini yang memiliki segala kenyamanan.

Nak, aku dan ibumu bertemu dan besar di sebuah organisasi yang memiliki kata-kata magis: "Never Give Up!". Artinya, kita harus menjalani hidup sebaik mungkin, buang jauh-jauh kata menyerah. Cara kami memaknai kata-kata itu tentu tidak sehebat cara Pi'ik menjalani laku hidupnya. Bagiku, dia adalah penjelmaan dari never give up! itu sendiri.

Nak, kami tentu akan berusaha agar kau tidak mengalami nasib yang sama seperti Pi'ik, agar kau tidak harus berjalan kaki selama enam jam setiap hari, agar kau tidak harus mencarikan kami buah dan memasak untuk kami. Tapi bersiaplah, hidup itu tidak selamanya menyenangkan. Kau akan menghadapi banyak sekali riak, ombak, bahkan tsunami. Tapi aku ingin kau ingat satu hal, jangan pernah menyerah. Karena dengan itulah hidupmu akan bermakna, untukmu, dan untuk orang lain.

Never give up, Nak!