Saturday, April 18, 2015

#5: Salam hangat dari (calon) ibu

Halo! Apa kabar, Nak?
Masih aneh rasanya untuk memanggil seseorang dengan panggilan Nak. Terus terang ibumu ini bingung harus menulis apa. Dari dulu ibu memang kesulitan bila diminta untuk menulis, apalagi menulis surat. Ditambah perasaan campur aduk yang sedang ibu rasakan membuat ibu makin bingung menuangkan semua rasa itu dalam tulisan.

Sekitar 1 bulan lalu ibu mulai merasakan gejala-gejala aneh. Rasanya mual seperti saat sedang sakit maag (ibu harap kelak kamu tidak merasakan sakit maag), jadi mudah capek, sering pusing, dan yang paling aneh ibu tidak tahan setiap melihat anak kecil. Ibu biasa tersenyum-senyum kecil sambil membayangkan alangkah senangnya jika bisa memiliki anak.

Dan ternyata Tuhan menitipkan keajaiban di rahim ibu untuk menciptakan kamu. Gumpalan daging kecil yang terkadang membuat ibu malas makan, harus sering istirahat, dan sering tersenyum-senyum sendiri saking bahagianya.

Di antara perasaan senang dan bahagia, tentu ada perasaan takut. Iya, ibu takut, Nak. Takut belum siap menjadi orangtua yang baik untukmu. Tapi teman ibu pernah bilang, kita memang tidak pernah terlahir untuk siap. Semua datang di saat yang tidak terduga dan membuat kita merasa belum siap. Aneh ya? Tapi suatu hari nanti kamu akan mengerti.

Semua rasa yang bercampur aduk itu menyatu jadi satu kesatuan, namanya cinta. Rasa yang sama (bahkan terkadang lebih) seperti ibu rasakan dengan ayahmu, atau kakek nenekmu. Itu yang perlu kamu ingat ya, bahwa ayah dan ibumu mencintaimu.

Ibu akhiri dulu surat ini. Sudah saatnya kita berdua makan siang lalu dilanjutkan menonton film. Baik-baik ya. :)

Saturday, April 11, 2015

#4: Selamat datang!

Halo! Apa kabar, Nak? Surat keempat ini lagi-lagi ditulis oleh ayahmu. Ibumu susah sekali diminta menulis, "aku kalau disuruh malah ga bisa nulis," katanya. Lagi pula, seluruh kemampuan dan semangat menulis ibumu sedang ia curahkan untuk tesisnya. Walaupun kita berdua sama-sama tahu, dengan atau tanpa surat darinya, ia tetap mencintaimu.

Nak, minggu lalu, aku pulang ke Jogja. Ibumu menjemputku ke bandara, aku bangga ia sudah berani menyetir mobil sejauh itu sendirian. Malam itu hujan cukup deras, ibumu membawa payung yang sayangnya tidak terlalu besar, tidak cukup untuk kami berdua, sehingga setengah bagian baju kami tetap basah waktu kami berjalan ke parkiran.

Tidak seperti biasanya, kami tidak langsung mencari makan, tapi ke tempat yang tidak pernah kami datangi sebelumnya: rumah sakit bersalin. Ya, kami datang untuk memeriksa perut ibumu, yang katanya terus mual beberapa hari belakangan.

Di ruang periksa, dokter mengeluarkan berbagai alat yang sebelumnya hanya kulihat di televisi. Seperangkat alat pindai, monitor, kabel-kabel, dan lain-lain. Beberapa saat kemudian, dokter memberi kami sesuatu, seperti yang kami pegang di bawah ini:


Selamat datang, Nak! Itu gambarmu! Lebih tepatnya, itu adalah gambar rahim ibumu yang mengandung dirimu. Tidak terlihat? Memang belum begitu terlihat, karena kata dokter, usiamu kira-kira baru 6 minggu, belum bisa terlihat secara kasat mata. Tapi, yang jelas, kau sudah "ada". Kau bukan lagi sebuah konsep abstrak, kau sudah mewujud ke dalam dunia fisik.

Tak bisa kugambarkan bagaimana bahagianya perasaan kami saat itu. Setelah menerima gambarmu dari dokter, kami lalu berjalan bergandengan tangan, melepasnya sebentar untuk membayar biaya periksa, dan kembali bergandengan tangan menuju mobil.

Ibumu lalu menunjukkan sebuah artikel di internet ke padaku. Menurut artikel itu, janin berusia 6 minggu ukurannya kira-kira sebesar biji beras. Bisa kaubayangkan betapa kecilnya dirimu, Nak? Tapi jangan khawatir, aku dan ibumu juga pernah sekecil itu dulu sekali, dan kau akan terus membesar mulai dari sekarang.

Ibumu juga berkata, menurut materi di kelas Psikologi Transpersonal yang pernah ia ambil, janin berusia 40 hari sudah bisa mengingat secara sederhana segala stimulus yang diberikan padanya. Artinya, kata ibumu, kami berdua mulai sekarang harus menjadi orang yang lebih baik, agar stimulus-stimulus yang sampai kepadamu juga penuh kebaikan.

Aku sudahi dulu surat ini, Nak. Baik-baiklah di dalam rahim. Ciptakan puisi yang banyak di dalam sana, yang kelak akan kau bacakan pada dunia.

p.s: Di foto di atas itu, kami terbalik memegang gambarmu. Maklum, newbie. :p