Friday, January 30, 2015

#2: Jalan-jalan

Halo! Apa kabar, Nak? Sekarang sudah jam 6 sore, tapi aku masih di kantor. Biasa, internetan gratis. Ngomong-ngomong, tiba-tiba aku teringat lirik dari sebuah lagu milik Indie Art Wedding, isinya begini:

Anakku, anakku, lelaplah sayang. Mimpikan ayah-ibumu banyak waktu luang, banyak perhatian, juga jalan-jalan, ke pantai dan pegunungan. Keluarga riang...

Di zaman kami, sedang ngetren istilah "kurang piknik". Segala perilaku dan ucapan orang-orang yang tidak masuk akal atau keterlaluan bodohnya, langsung kami cap dengan perilaku orang yang kurang piknik. Lewat kolom komentar di internet, biasanya kami menyuruh mereka untuk piknik. Tapi kamu tahu? Sebenarnya kami mengatakan itu karena sesungguhnya kamilah yang butuh piknik!

Lewat surat ini, aku ingin mengingatkanmu untuk mengingatkan kami kalau sering lalai mengajakmu piknik. Kamu boleh mengajak kami piknik ke mana saja, bisa ke kebun binatang seperti orang normal, atau kalau kamu penasaran, ke rumah seorang dukun sakti di Bantul sana juga boleh.

Sebagai penutup, ini foto-foto kami waktu jalan-jalan akhir tahun kemarin:

Pertama, kami nonton dangdut di alun-alun. Kami tidak terlalu suka dangdut sih. Biasa saja. Tapi acara dangdutan ini banyak hadiahnya.

Dari acara dangdutan itu, kami dapat hadiah doorprize nonton peluncuran roket di Amerika. Ini kami foto di depan roket.

Pulangnya, kami mampir dulu di Paris. Di belakang kami itu namanya Menara Eiffel. Banyak yang bilang ini salah satu tempat paling romantis di dunia. Menurut kami sih mirip menara SUTET.

Begitulah, Nak. Surat ini aku sudahi saja ya. Ayo jalan-jalan!

Tuesday, January 27, 2015

#1: Halo!


Halo! Apa kabar, Nak? Ini surat pertama dariku, ayahmu. Aku dan ibumu berjanji untuk menulis surat-surat digital untukmu. Surat yang selain berfungsi sebagai sapaan hangat kami kepadamu dari masa lalu, juga sekaligus sebagai media untuk menjaga jiwa kami tetap benderang dengan cara menulis. Kau tahu, konon menulis adalah obat terbaik bagi jiwa. Tapi entahlah, mungkin kamu bisa menanyakannya pada ibumu. Ia seorang (calon) psikolog, pasti lebih paham masalah jiwa.

Ngomong-ngomong, aku senang bisa memulai menulis surat pertama ini. Ketahuilah, walaupun aku tidak pernah sekalipun menyebut diriku sebagai penulis, dulu menulis adalah bagian dari hidupku. Sepertinya dulu hampir setiap hari aku menulis. Tapi beberapa bulan (emm, mungkin tahun lebih tepatnya) ini, aku sudah sangat jarang menulis. Maksudku, menulis dari hati, menulis untukku dan orang-orang terdekatku.

Maka, Nak, terima kasih, karena kamu memberikan alasan lagi kepadaku untuk menulis. Walaupun pada saat menulis ini, kamu bahkan belum ada dalam kandungan ibumu. Tapi kami akan setia menunggumu, sembari terus menumpuk rasa cinta kami lewat surat-surat ini.