Thursday, December 31, 2015

#12: Mandi

Halo! Apa kabar, Nak? Aku akan bahas salah satu kegiatan favoritmu saat ini: mandi! Betulan, Nak, kamu suka mandi, beda sama Ibumu.

Setelah lahir, waktu di rumah sakit, kamu dimandiin sama perawat. Waktu udah boleh dibawa pulang, kami belum berani mandiin kamu. Akhirnya eyangmu yang mandiin. Kami cuma ngeliatin sambil sok-sokan bawain botol sabun dan handuk. Setelah aku kembali ke Kalimantan, ibumu pelan-pelan belajar mandiin. Pertama masih dibantuin eyangmu, tapi lama-lama dia bisa sendiri.

Minggu kemarin, waktu aku pulang ke Jogja, aku juga ga mau kalah, pengen mandiin kamu. Sambil disupervisi dan diawasi ketat sama ibumu, aku mulai ritual itu.

Pertama, aku nyiapin ember mandi warna hijaumu, terus masukin air ke dalemnya dengan komposisi seperempat ceret air panas dan tiga gayung air dingin.

Langkah selanjutnya, badan, wajah, dan rambutmu yang tebal itu akan disabunin pakai lap kecil yang udah dibasahin. Terus, pelan-pelan kamu diangkat ke dalam ember. Segera setelah kamu masuk ke dalam air hangat itu, wajahmu nunjukkin raut sumringah dan kakimu goyang-goyang. Kata ibumu, itu tandanya kamu suka mandi, dan pasti juga suka berenang. Pernah ibumu pingin ngajak kamu berenang. Kapan-kapan aja deh, kataku, karena aku takut kamu tenggelam. Kan pakai pelampung, sahut ibumu. Ya tetep aja serem, kataku lagi. Akhirnya berenang masuk dalam daftar wacana.

Balik lagi ke mandi. Setelah busa yang menempel di tubuhmu bersih, kamu akan diangkat lagi dan dibaringin di atas handuk. Kami akan segera mengeringkan tubuhmu, mengusap minyak telon, memakaikan popok, celana, baju, dan membungkusmu dengan kain. Semua itu harus dilakukan dengan super cepat. Kalau enggak, nanti kamu menggigil kedinginan. Kadang kamu muntah saking dinginnya. Setelah kamu rapi jali, rambutmu diolesi minyak rambut, terus disisir belah pinggir ke kiri. Terakhir, mukamu dikasih bedak. Yak, selesai!

Kami paling suka kalau kamu habis mandi. Pertama, kamu wangi. Gabungan bau sabun mandi, minyak telon, minyak rambut, dan aroma susu yang keluar dari mulutmu bikin kamu nyaman banget digendong. Kedua, rambutmu kalau masih basah kelihatan rapi. Kalau sudah kering, njigrak ke atas, kayak anak punk. Tapi, seperti apapun bau atau bentukmu, kami tetap sayang kamu kok, Nak. Hehe.

Penampakanmu tiap abis mandi. <3

#11: Horeee, Kamu Lahir!

Halo! Apa kabar, Nak? Ngomong-ngomong, kamu sudah lahir lho!

Sebenernya telat banget aku nulis surat ini. Kamu lahir lebih dari sebulan yang lalu. Tepatnya hari Kamis Wage, 26 November 2015, jam setengah lima sore. Seru lho proses kelahiranmu.

Jadi ceritanya, HPL atau Hari Perkiraan Lahiran-mu adalah tanggal 18 November. Artinya, sama dokter, kamu diperkirakan bakal lahir tanggal segitu. Tapi, namanya juga perkiraan, HPL itu ga selalu tepat. Waktu kelahiran bayi bisa meleset satu sampai dua minggu lebih cepat atau lebih lambat dari HPL. Nah, karena itu, aku udah ancang-ancang ambil cuti dari jauh hari.

Akhirnya, tanggal 13 November aku pulang ke Jogja. Sengaja agak jauh dari HPL, biar kalau tiba-tiba lahiranmu maju, aku udah siap di Jogja. Tapi, sampai tanggal 18, ibumu belum juga nunjukin tanda-tanda mau melahirkan. Mules aja jarang, padahal tiap pagi kami jalan kaki biar ngebantu lahiranmu. Kayaknya kamu masih betah di perut.

Beberapa waktu kemudian, dokter ngasih tau kami, kalau sampai H+7 HPL kamu belum lahir, ibumu harus diinduksi. Induksi tu semacam metode yang diberikan untuk ngebantu mempercepat proses lahiran. Kata dokter, kalau makin lama di dalam kandungan, kamu bisa keracunan air ketuban yang bakal makin keruh. Dan bukan cuma kamu yang berisiko, Nak, kondisi kayak gitu juga berbahaya buat ibumu.

Akhirnya, tepat seminggu setelah HPL, tanggal 25 November, karena ibumu belum ngasih tanda-tanda untuk melahirkan juga, kami sepakat pergi ke rumah sakit. Ya, ibumu akan diinduksi. Di rumah sakit, dokter ngejelasin kalau ibumu akan dikasih obat secara berkala untuk merangsang kamu keluar. Kalau obatnya ga mempan, nanti bakal dibantu pakai infus, kalau ga mempan juga, terpaksa harus operasi sesar buat ngeluarin kamu.

Ibumu pertama dikasih obat jam 1 siang. Karena belum nunjukin gejala apa-apa, dan masih bisa jalan-jalan bareng aku di sekitar rumah sakit, ibumu dikasih obat yang kedua jam enam sore. Masih belum kerasa juga.

Besok paginya, tanggal 26, jam enam pagi, dikasih obat yang ketiga. Baru lah kerasa yang ini. Ibumu mulai ngerasa mules. Abis makan pagi, muntah. Perutnya makin kenceng. Setelah itu, ibumu udah ga kuat bangun lagi. Makan pun sambil tiduran. Akhirnya, jam satu siang, ibumu bilang rasa sakit di perutnya udah ga ketahan lagi. Aku manggil perawat, dan diputuskan ibumu harus segera dibawa ke ruang bersalin. Cuma satu orang yang boleh nemenin di ruang bersalin, maka hanya aku yang ikut, sementara orangtuaku (kamu manggil mereka Abah dan Ambu) dan orangtua ibumu (kamu manggil mereka Eyang) nunggu di kamar perawatan.

Di ruang bersalin, kami masih harus nunggu dokter kandungan kami yang baru berangkat dari rumahnya. Padahal, perut ibumu udah makin mules. Ada gunanya juga aku bawa jaket ke ruang bersalin, bisa sedikit ngelindungin tanganku yang terus-terusan dicubit dan dicakarin sama ibumu buat nahan sakit.

Sembari nunggu dokter dateng, perawat dateng meriksa kondisi ibumu. Dia bilang, ibumu udah bukaan sembilan! Artinya, tinggal sedikit lagi kamu keluar. Kami makin cemas nunggu si dokter yang ga dateng-dateng. Tapi, para perawat di situ bilang supaya kami tetap tenang.

Sekitar setengah jam kemudian, ibu dokter dateng. Ia langsung make baju khusus, sarung tangan, dan nyuruh perawat buat nyiapin alat-alat persalinan. Bentar lagi atraksinya dimulai! Kamu inget kan, Nak, aku pernah janji sama ibumu buat nemenin dia melahirkan sambil megang tangannya? Janji itu kupenuhi, Nak. Aku duduk di samping ibumu, megang tangannya, sesekali nyodorin botol minum, dan ga berhenti ngasih semangat.

Semangat itu ga cuma dateng dari aku lho. Ibu dokter dan seluruh perawat nyemengatin ibumu untuk lebih kuat lagi ngedorong kamu keluar. Dan akhirnya, tepat jam setengah lima, kamu keluar, Nak! Aku ngeliat jelas bentukmu yang masih belepotan air ketuban, lemak, dan darah. Perawat langsung ngebawa kamu untuk dibersihin. Samar-samar kami bisa denger suara tangisanmu yang lucu itu. Aku langsung ngusap kepala ibumu dan ngecup dahinya. "Kita jadi ortu, coy," kataku. Ibumu masih setengah sadar, kayaknya pengaruh obat.

Ga berapa lama, kamu dibawa lagi ketemu kami untuk dilakuin IMD atau Inisiasi Menyusui Dini. Artinya, instingmu dilatih untuk mencari puting susu ibumu. Kamu yang masih sangat lemah itu ditaruh di atas dada ibumu yang masih lemes. Itu pertama kalinya kami berada sangat dekat denganmu, Nak. Mukamu paling cuma 5 sentimeter dari mukaku. Bahagia sekali rasanya kami saat itu, Nak.

Hal pertama yang aku lakukan adalah membunyikan bacaan azan di telingamu. Tau ga, Nak, kapan terakhir kali aku azan? Kelas empat SD, dalam rangka lomba azan di masjid. Waktu itu aku kalah dalam lomba, dan tentu saja ga dapet hadiah. Tapi kali ini, sejelek apapun bacaan azanku, aku udah dapet kamu, Nak, hadiah paling berharga yang pernah aku punya. :)

Oh iya, kami menamaimu Kirana Lintang Utara. Lain waktu akan kuceritakan kenapa kami memberimu nama itu.

Bentukmu beberapa jam setelah lahir. Super cute!

Saturday, November 21, 2015

#10: :)

Halo! Apa kabar, Nak? Bagaimana kabarmu di dalam situ? Masih betah? Hari ini usia kandungan ibumu hampir mencapai 41 minggu. Menurut prediksi dokter dan hitung-hitungan medis, kau seharusnya lahir empat hari yang lalu, ketika usia kandungan ibumu 40 minggu. Tapi, sampai saat ini, kau belum menunjukkan tanda-tanda akan keluar.

Tidak apa-apa, Nak. Nikmati saja waktumu. Keluarlah kapan pun kau mau, kami sudah siap. Tapi jangan kelamaan ya, minggu depan cutiku habis hehehe.

Sembari menunggu kau keluar, aku dan ibumu melakukan banyak hal berdua. Jalan pagi, masak, mengupas dan makan mangga, nonton film, piknik ke mall, membersihkan rumah, merevisi dan menjilid tesis ibumu, berkunjung ke rumah kawan, makan enak, survey harga bibit pohon, beli ember mandi untukmu, wah, pokoknya banyak banget, Nak.

Dengan kami yang tinggal berjauhan seperti ini, aku dan ibumu jarang menghabiskan waktu bersama, Nak. Ketika kami melakukannya, selalu ada sesuatu yang meletup di dalam hatiku. Itu adalah perasaan sayangku pada ibumu. Aku menyayanginya, Nak. Dan, tentu saja, kami juga menyayangimu.









*Semua foto di atas diambil menggunakan kamera analogku, Nikon FM10. Besok, kalau kau sudah agak besar, akan kuajari cara memakainya. Mudah-mudahan filmnya masih ada yang jual.

Monday, November 9, 2015

#9 Hari Kelulusan

Hai nak,

Maaf sudah lama tidak menulis surat untukmu. Hari ini akhirnya ibumu berhasil menyelesaikan tesisnya. Akhirnya setelah 2,5 tahun kuliah, ibu bisa lulus juga. Yeayy!!

Terima kasih sudah menjadi anak yang hebat dan tidak menyusahkan. Tidak ada morning sickness, apalagi ngidam yang tidak perlu. Mau diajak berjalan kaki, naik turun tangga, sambil membawa beban yang lumayan berat. Bisa diajak mengetik laporan hingga berjam-jam, juga tidak gentar menghadapi para narapidana yang tampak mengerikan.

Semua orang kagum padamu, nak. Hampir semua orang yang kutemui pun mengatakan bahwa nantinya kamu akan menjadi anak yang pintar. Satu hal yang kudoakan untukmu, kamu akan menjadi anak tangguh dan tidak mudah mengeluh.

Sekali lagi terima kasih ya, nak. Sekarang kita berdua bisa menjalani hari dengan lebih tenang. Mari kita lebih nikmati detik-detik menjelang waktu kelahiranmu di dunia

Lihat dirimu yang berusia 39 minggu 6 hari, hihi

Saturday, October 10, 2015

#8: Misteri Terpecahkan!

Halo! Apa kabar, Nak? Maafkeun kedua orangtuamu yang tidak bisa konsisten menulis surat. Terutama ibumu, tuh. Dia baru menulis satu, sementara ini surat ketujuhku.

Kali ini, aku akan bercerita tentang kabar terbaru tentangmu. Akhirnya kami tahu jenis kelaminmu, plus, kami juga melihat wajahmu!

Seperti yang kusampaikan sebelumnya, pada saat kau berusia lima bulan di dalam kandungan, kami melakukan pemeriksaan rutin ke dokter. Harusnya, saat itu jenis kelaminmu sudah bisa terlihat. Namun, dari tampilan alat USG yang canggih itu, kaki mungilmu menutupi area kelamin, sehingga kami pulang dengan sedikit kecewa.

Bulan depannya, yaitu bulan keenammu dalam kandungan, aku tidak bisa pulang ke Jogja. Ibumu pergi periksa ke dokter ditemani nenekmu (atau 'simbah'? Ah, masalah panggilan itu kita bahas nanti saja). Karena aku dan ibumu sudah berjanji untuk mengecek jenis kelaminmu saat kami sedang bersama, maka pada bulan keenam ibumu tidak bertanya pada dokter tentang itu.

Bulan ketujuh, inilah saat yang kami tunggu-tunggu. Di tengah kabut asap, aku terbang ke Bandung. Ibumu sudah menunggu di sana. Sorenya, kami pergi ke rumah seorang dokter kandungan di daerah Cilaki. Kami sudah berencana untuk melakukan USG 4 dimensi, metode canggih yang selain bisa melihat jenis kelaminmu, juga bisa mengambil potret wajahmu di dalam kandungan sana.

Namun, harapan kami yang sudah tinggi untuk mengetahui jenis kelaminmu pun harus pupus lagi. Saat diperiksa, posisi badanmu menghadap ke belakang! Dokter mengatakan, dengan posisimu yang seperti itu, percuma jika kami melakukan USG 4 dimensi, karena kami hanya akan mendapat gambar punggungmu saja. Namun, syukurlah, dari pemeriksaan ini, kami mengetahui kalau kau dan ibumu sehat, Nak.

Sebenarnya, kesehatanmu di dalam sana itulah yang paling penting. Jenis kelamin sih nomer dua. Beberapa teman dan keluarga bahkan mengusulkan kami untuk tidak usah memeriksakan jenis kelaminmu saat di dalam kandungan, biar menjadi kejutan saat kau lahir. Tapi, bagaimana lagi, aku orangnya gampang penasaran. Maka, kami bertekad untuk melakukan pemeriksaan sekali lagi di Jogja.

Minggu depannya, kami mendatangi klinik dokter di daerah selatan Jogja. Di sanalah misteri itu terjawab! Sebelumnya, dokter memeriksa posisimu di dalam kandungan. "Posisi bayinya miring. Agak susah untuk 4 dimensi, tapi mudah-mudahan bisa," katanya. Kemudian ia mengutak-atik monitor dan alat USG di tangannya.

Nak, aku baru tahu kalau alat kedokteran itu begitu canggih. Ada sebuah alat yang dapat menunjukkan wajah bayi yang masih berada di dalam perut ibunya. Awalnya, tanganmu tampak menutupi wajahmu yang tampak samping itu. Dokter menyuruhku untuk memanggilmu, agar kau mau menggerakkan kepalau, atau setidaknya menurunkan tanganmu, supaya wajahmu terlihat lebih jelas.

"Nak, lihat sini, Nak," kataku berulang kali sembari mengusap-usap perut ibumu. Dokter bilang wajahmu belum begitu jelas terlihat. Aku mencoba kembali berkomunikasi denganmu. Jujur saja, aku merasa agak sia-sia. Namun, di layar monitor, terlihat wajahmu pelan-pelan menoleh. Tanganmu yang tadinya menutupi, pelan-pelan bergeser ke bawah.

Nak, untuk pertama kalinya, kami melihat wajahmu! Itu salah satu pengalaman terbaikku dalam hidup. Melihatmu wajahmu, Nak! Melihatmu bergerak-gerak!

"Ini wajahnya, Mas, Mbak. Idungnya mancung tuh," kata dokter. Ia berkali-kali mengambil potret wajahmu.
Kau umur 7,5 bulan di dalam kandungan. Hitam-hitam di kepalamu itu adalah bayangan dinding rahim ibumu, bukan rambut.

Selain melihat wajahmu, kami juga mendapat banyak sekali informasi penting dari Pak Dokter. Dokter ini memang beda dibanding dokter-dokter lain yang kami temui selama ini. Ia begitu semangat menjelaskan begitu banyak hal. Mulai dari angka detak jantungmu, hingga panjang pahamu yang ada hubungannya dengan umur kehamilan. Syukurlah, kami semakin diyakinkan bahwa kau sehat di dalam sana, Nak. Semuanya sehat, semuanya normal.

Akhirnya, Pak Dokter memberikan kami informasi penting itu: jenis kelaminmu. Ia menggerak-gerakkan alat di tangannya, kemudian menunjukkan gambar kepada kami di layar monitor. "Itu kelaminnya," katanya. Aku dan ibumu berpandangan. Bukan karena tercerahkan, tapi karena tak paham. Gambar yang ia tunjukkan di layar monitor itu menggunakan alat USG biasa, bukan 4 dimensi seperti tadi, sehingga kami kesulitan menerjemahkannya.

"Hmm, itu liatnya gimana ya, Dok? Saya ga paham," tanyaku.

"Anaknya perempuan, Mas, Mbak."

"Yakin, Dok?"

"Yah, 99% lah."

Itulah jawabannya, Nak. Kau perempuan! Yah, meskipun alat itu mungkin saja meleset hasilnya, dan apapun bisa terjadi, namun kami berdua sangat lega mendengar jawaban itu. Setelahnya, kami tak henti bergandengan tangan, bahkan sampai di dalam mobil.

Sehabis ini, PR kami adalah mencari nama untukmu. Sebenarnya kami sudah merumuskan beberapa nama sih. Tunggu saja, kami akan konsolidasi dulu demi nama yang terbaik untukmu.

Hey, ngomong-ngomong, kau lahir sebentar lagi, lho. Menurut dokter, hanya tinggal sebulan lebih sedikit lagi. Ibumu uring-uringan terus menyuruh aku segera mengurus cuti. Ia khawatir aku datang terlambat saat kau lahir. Namun, aku telah berjanji padanya, aku akan ada di sisinya, memegang tangannya saat hari itu datang.

Maka, untuk memuluskan janjiku pada ibumu, aku minta tolong kepadamu. Tunggu aku, Nak. Tolong jangan keluar dulu sebelum aku sampai di Jogja.

Aku ingin ada di sana pada hari-hari menjelang kelahiranmu. Aku ingin menggosok punggung atau memjiat kaki ibumu sebelum tidur (saat hamil, ia senang sekali dua hal itu), membuatkannya teh di pagi hari agar badannya terasa enak, memasak atau membelikan makanan untuknya, hingga mengantarnya ke rumah sakit, memegang tangannya, dan jadi orang pertama yang menimangmu begitu kau lahir (eh, bukan orang pertama ding, pokoknya setelah dokter dan perawat lah).

Bisa kan kau menolongku? Janji, ya? Aku menyayangimu, Nak. :)

Saturday, August 22, 2015

#7: Rangkuman Kejadian dalam Tiga Bulan Terakhir

Halo! Apa kabar, Nak? Maaf, sudah lama aku tidak menulis surat untukmu. Kapan, ya, terakhir kali aku menulis di sini? Bulan Mei? Wah, lama juga. Banyak hal yang terjadi tiga bulan ini. Secara garis besar mungkin seperti ini:

Waktu bulan puasa kemarin, ibumu mengunjungiku di sini, di Kalimantan. Aku meminjam rumah temanku selama seminggu untuk kutempati bersama ibumu. Rasanya menyenangkan melewati bulan puasa berdua. Waktu sahur, kami bangun dan berbagi tugas. Aku memanaskan lauk dan sayur yang sudah kubeli malamnya, ibumu memasak nasi. Paginya, aku berangkat kerja dan ibumu mengerjakan tesis dan menonton tivi. Sorenya, kami mencari lauk untuk makanan berbuka. Aku mengajaknya ke beberapa Pasar Ramadhan yang ada di Tanjung. Kami membeli kudapan-kudapan khas Banjar dan es kelapa muda. Aku juga sempat mengajak ibumu melihat kantorku. Seminggu sebelum lebaran, ibumu pulang ke Jogja, dan aku menyusulnya beberapa hari kemudian.

Begitu aku tiba di Jogja, kami pergi memeriksa kondisimu. Kami menunggu selama hampir tiga jam di ruang tunggu. Petugasnya bilang, dokter kandungannya sedang menangani proses lahiran di tempat lain. Kami berdua bosan sekali saat itu. Aku sampai ketiduran beberapa kali di sofa. Ketika dokternya datang, kami mendapat giliran pertama untuk masuk. Kata ibu dokter, kondisimu cukup baik. Ibumu disuruh makan buah dan sayur lebih banyak lagi. Hanya saja, ketika kami hendak melihat jenis kelaminmu, kaki mungilmu dengan jahilnya menekuk menutupi kelaminmu, membuat kami penasaran apakah kau anak laki-laki atau perempuan. Tapi tidak apa-apa, semoga di jadwal pemeriksaan berikutnya misteri itu bisa terjawab.

Kau tahu? Perut ibumu sudah sangat besar. Ia bilang, kau senang sekali bergerak dan menendang-nendang di dalam sana, terutama di malam hari. Awalnya aku kurang percaya. Namun, aku merasakannya sendiri, getaran-getaran kecil di balik perut buncit itu. Entah apa yang sedang kau lakukan di dalam situ, Nak, tapi aku bahagia sekali merasakan gerakanmu dengan tanganku. Di hari terakhirku di Jogja, aku membacakanmu dongeng yang aku dapat di internet. Aku lupa apa judulnya, tapi kelihatannya kau menyukainya. Gerakanmu mereda ketika aku sedang membaca, seolah kau sedang pasang kuping dan menikmati ceritanya.

Tesis ibumu sudah hampir selesai. Minggu depan ia akan mulai ambil data penelitian. Tesisnya mengenai terapi psikologi pada narapidana. Makanya, beberapa waktu belakangan ini ia rajin keluar masuk penjara (hehe, istilah yang lucu), kampus, dan perpustakaan. Aku khawatir kesibukannya itu akan berpengaruh pada kesehatannya dan juga kesehatanmu. Tapi aku tahu ibumu, ia perempuan yang tangguh. Lagi pula, ada untungnya juga kau ada di dalam perutnya waktu ia sedang mengerjakan tesis. Katanya, segala hal yang dilahap oleh ibu, termasuk buku bacaan, akan dikonsumsi juga oleh bayi yang dikandungnya. Artinya, sejak dalam kandungan kau sudah diberi nutrisi bacaan-bacaan bermutu tentang berbagai macam teori psikologi. Nak, kau pasti akan jadi anak yang cerdas!

Itulah rangkuman besar hidup kami dalam tiga bulan ini, Nak. Namanya rangkuman, tentu saja banyak hal-hal detil yang terlewat untuk aku ceritakan. Kurang lebih tiga bulan lagi kau akan lahir, Nak. Saat kau lahir, kami berjanji akan memberikan setiap detil dalam hidup kami untukmu, Nak. Dan sampai saat itu datang, tunggulah, dan jadilah anak yang baik. Juga jangan lupa untuk sesekali memberikan semangat pada ibumu dalam mengerjakan tesisnya. Caranya? Ayolah, kau pasti lebih tahu. ;)

Tuesday, May 19, 2015

#6: Jarak dan Jeda


Halo! Apa kabar, Nak? Ini ayahmu lagi. Surat keenam ini kembali ditulis olehku, setelah ibumu (akhirnya!) menulis surat nomer lima.

Hari ini, aku akan bicara tentang jarak. Nak, ketahuilah, semenjak aku dan ibumu menikah, sampai hari ini ketika usiamu di dalam kandungan sudah sekitar hampir tiga bulan, kami tinggal berjauhan. Ibumu tinggal di Jogja, kota yang sangat kami cintai, dan kelak akan kau cintai juga, sementara aku tinggal di sebuah kota kecil di Kalimantan Selatan.

Ibumu sedang berusaha menyelesaikan tesisnya di kampus, dan aku sedang menjadi karyawan sebuah perusahaan tambang batubara. Itulah kenapa kami belum bisa tinggal bersama. Setelah menikah lima bulan yang lalu, kami baru bertemu sebanyak empat kali. Sekali bertemu paling lama hanya lima hari. Untuk bertemu ibumu di Jogja, aku harus melewati jalan darat selama lima jam, dilanjutkan terbang dengan pesawat selama satu jam lima belas menit. Jarak di antara kami hampir sembilan ratus kilometer.

Nak, aku sangat mencintai ibumu, dan sangat ingin terus berada di dekatnya. Aku kadang merasa sedih dan bersalah karena tidak ada di dekatnya dalam dua momen yang sangat penting dalam hidupnya: membuat tesis dan mengandung anak pertamanya, yaitu kamu. Dan percayalah, Nak, keputusan untuk hidup berjauhan seperti ini memang tidak mudah, untuk ibumu, juga untukku.

Mungkin kau bertanya, "Ayah, kenapa kau tidak berhenti saja dari pekerjaanmu dan pindah ke Jogja?". Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, Nak. Mungkin besok, namun tidak hari ini. Kelak, kau akan memahami, isi kepala orang dewasa memang ruwet. Tapi kenyataannya memang begitu, tidak semua perkara yang sederhana bisa disederhanakan.

Tapi, Nak, orang bilang selalu terselip kebaikan di balik segala sesuatu, termasuk jarak yang memisahkan kami ini. Kamu tahu, waktu kecil, aku sangat suka nonton film kartun di tivi, seperti Dragon Ball, Samurai X, atau B'T X. Film-film kartun itu disiarkan seminggu sekali. Beberapa menit sebelum film kartun itu dimulai, aku akan merasa berdebar-debar saking gembiranya, karena aku sudah menunggu seminggu penuh untuk momen indah itu. Beberapa menit sebelum film kartun itu habis, aku akan sangat sedih karena harus menunggu seminggu sebelum menontonnya lagi. Begitu seterusnya.

Momen yang kurasakan setiap minggu itu, Nak, disebabkan oleh jeda. Jarak dan jeda adalah saudara kembar. Jarak biasanya digunakan dalam konteks ruang, sementara jeda digunakan dalam konteks waktu. Namun keduanya sama-sama memberi ruang sela, jarak pada ruang dan jeda pada waktu. Itulah yang kami alami sekarang, Nak. Kami disekat oleh jarak dan jeda secara bersamaan. Jarak sejauh 900 kilometer, dan jeda untuk bertemu yang lebih dari sebulan sekali.

Namun sama seperti pengalamanku menonton film kartun, momen ketika aku bertemu ibumu di Jogja adalah momen yang sangat menyenangkan, karena aku telah menunggu selama lebih dari sebulan untuk itu. Ketika tiba saatnya aku harus kembali ke Kalimantan, aku memang sedih, tapi aku tahu kami akan segera bertemu lagi. Jarak dan jeda di antara kami membuat kebersamaan kami menjadi lebih berharga.

Jadi, bersiaplah wahai kamu yang sedang menggeliat manja di dalam perut istriku, tak lama lagi kita akan bertemu, dan kita berdua pasti tahu, saat ini aku berdebar-debar saking gembiranya menunggu momen itu.

Saturday, April 18, 2015

#5: Salam hangat dari (calon) ibu

Halo! Apa kabar, Nak?
Masih aneh rasanya untuk memanggil seseorang dengan panggilan Nak. Terus terang ibumu ini bingung harus menulis apa. Dari dulu ibu memang kesulitan bila diminta untuk menulis, apalagi menulis surat. Ditambah perasaan campur aduk yang sedang ibu rasakan membuat ibu makin bingung menuangkan semua rasa itu dalam tulisan.

Sekitar 1 bulan lalu ibu mulai merasakan gejala-gejala aneh. Rasanya mual seperti saat sedang sakit maag (ibu harap kelak kamu tidak merasakan sakit maag), jadi mudah capek, sering pusing, dan yang paling aneh ibu tidak tahan setiap melihat anak kecil. Ibu biasa tersenyum-senyum kecil sambil membayangkan alangkah senangnya jika bisa memiliki anak.

Dan ternyata Tuhan menitipkan keajaiban di rahim ibu untuk menciptakan kamu. Gumpalan daging kecil yang terkadang membuat ibu malas makan, harus sering istirahat, dan sering tersenyum-senyum sendiri saking bahagianya.

Di antara perasaan senang dan bahagia, tentu ada perasaan takut. Iya, ibu takut, Nak. Takut belum siap menjadi orangtua yang baik untukmu. Tapi teman ibu pernah bilang, kita memang tidak pernah terlahir untuk siap. Semua datang di saat yang tidak terduga dan membuat kita merasa belum siap. Aneh ya? Tapi suatu hari nanti kamu akan mengerti.

Semua rasa yang bercampur aduk itu menyatu jadi satu kesatuan, namanya cinta. Rasa yang sama (bahkan terkadang lebih) seperti ibu rasakan dengan ayahmu, atau kakek nenekmu. Itu yang perlu kamu ingat ya, bahwa ayah dan ibumu mencintaimu.

Ibu akhiri dulu surat ini. Sudah saatnya kita berdua makan siang lalu dilanjutkan menonton film. Baik-baik ya. :)

Saturday, April 11, 2015

#4: Selamat datang!

Halo! Apa kabar, Nak? Surat keempat ini lagi-lagi ditulis oleh ayahmu. Ibumu susah sekali diminta menulis, "aku kalau disuruh malah ga bisa nulis," katanya. Lagi pula, seluruh kemampuan dan semangat menulis ibumu sedang ia curahkan untuk tesisnya. Walaupun kita berdua sama-sama tahu, dengan atau tanpa surat darinya, ia tetap mencintaimu.

Nak, minggu lalu, aku pulang ke Jogja. Ibumu menjemputku ke bandara, aku bangga ia sudah berani menyetir mobil sejauh itu sendirian. Malam itu hujan cukup deras, ibumu membawa payung yang sayangnya tidak terlalu besar, tidak cukup untuk kami berdua, sehingga setengah bagian baju kami tetap basah waktu kami berjalan ke parkiran.

Tidak seperti biasanya, kami tidak langsung mencari makan, tapi ke tempat yang tidak pernah kami datangi sebelumnya: rumah sakit bersalin. Ya, kami datang untuk memeriksa perut ibumu, yang katanya terus mual beberapa hari belakangan.

Di ruang periksa, dokter mengeluarkan berbagai alat yang sebelumnya hanya kulihat di televisi. Seperangkat alat pindai, monitor, kabel-kabel, dan lain-lain. Beberapa saat kemudian, dokter memberi kami sesuatu, seperti yang kami pegang di bawah ini:


Selamat datang, Nak! Itu gambarmu! Lebih tepatnya, itu adalah gambar rahim ibumu yang mengandung dirimu. Tidak terlihat? Memang belum begitu terlihat, karena kata dokter, usiamu kira-kira baru 6 minggu, belum bisa terlihat secara kasat mata. Tapi, yang jelas, kau sudah "ada". Kau bukan lagi sebuah konsep abstrak, kau sudah mewujud ke dalam dunia fisik.

Tak bisa kugambarkan bagaimana bahagianya perasaan kami saat itu. Setelah menerima gambarmu dari dokter, kami lalu berjalan bergandengan tangan, melepasnya sebentar untuk membayar biaya periksa, dan kembali bergandengan tangan menuju mobil.

Ibumu lalu menunjukkan sebuah artikel di internet ke padaku. Menurut artikel itu, janin berusia 6 minggu ukurannya kira-kira sebesar biji beras. Bisa kaubayangkan betapa kecilnya dirimu, Nak? Tapi jangan khawatir, aku dan ibumu juga pernah sekecil itu dulu sekali, dan kau akan terus membesar mulai dari sekarang.

Ibumu juga berkata, menurut materi di kelas Psikologi Transpersonal yang pernah ia ambil, janin berusia 40 hari sudah bisa mengingat secara sederhana segala stimulus yang diberikan padanya. Artinya, kata ibumu, kami berdua mulai sekarang harus menjadi orang yang lebih baik, agar stimulus-stimulus yang sampai kepadamu juga penuh kebaikan.

Aku sudahi dulu surat ini, Nak. Baik-baiklah di dalam rahim. Ciptakan puisi yang banyak di dalam sana, yang kelak akan kau bacakan pada dunia.

p.s: Di foto di atas itu, kami terbalik memegang gambarmu. Maklum, newbie. :p

Wednesday, February 4, 2015

#3: Never Give Up!

Halo! Apa kabar, Nak? Berhubung ibumu belum juga menunaikan kewajibannya untuk menulis di sini, maka aku membuat surat ketiga ini. Isinya agak serius. Semoga kau sudah cukup besar untuk memahaminya.

Jadi ceritanya, beberapa waktu yang lalu aku terlibat dalam sebuah pembuatan film dokumenter tentang kehidupan masyarakat Suku Dayak yang tinggal di kaki Gunung Meratus. Tempat tinggal mereka itu sangat jauh dari ibukota kecamatan, Nak, apalagi kota betulan.

Nah, ada satu anak bernama Pi'ik Laura, umurnya dua belas. Dia ini termasuk anak yang desanya berada paling ujung. Jarak dari rumahnya ke sekolah adalah tiga jam berjalan kaki. Bayangkan, tiga jam! Itu hanya untuk sekali jalan. Jadi setiap hari dia harus berjalan kaki selama enam jam menembus hutan untuk bisa pergi sekolah, dan pulang lagi ke rumahnya. Enam jam!

Hebatnya, Nak, aku tidak melihat lelah dalam matanya. "Meski badai, meski seragam saya basah kuyup, saya tetap berangkat sekolah. Saya ingin jadi pintar, saya ingin jadi guru," katanya padaku. Bukan hanya itu, si Pi'ik yang namanya berarti kecil dalam bahasa Dayak ini, setiap hari harus keluar masuk hutan, mencari buah dan memetik daun singkong, dan memasak untuk ibunya yang sakit.

Nak, kami akan berusaha supaya bisa membelikanmu sepatu lebih dari satu, dan semoga semesta berkenan mengabulkannya. Tapi ketahuilah, Pi'ik hanya punya sepasang sepatu. Karena takut rusak, ia tidak memakai sepatu pemberian temannya ini sepanjang perjalanan. Dari rumahnya, ia akan berjalan bertelanjang kaki selama dua jam, kemudian sampai di desa tempat saudaranya tinggal untuk memakai sepatu yang ia titipkan setiap hari, kemudian melanjutkan sisa satu jam perjalannya dengan hati-hati agar sepatunya tidak lecet atau kotor.

Nak, selama ini aku nyaris percaya cerita-cerita macam itu hanya ada dalam film, televisi, atau novel inspiratif macam Laskar Pelangi. Orang-orang seperti Pi'ik itu bukan hanya rumahnya yang jauh, tapi cara dia menjalani hidup juga jauh dari imajinasi kita orang kota modern ini yang memiliki segala kenyamanan.

Nak, aku dan ibumu bertemu dan besar di sebuah organisasi yang memiliki kata-kata magis: "Never Give Up!". Artinya, kita harus menjalani hidup sebaik mungkin, buang jauh-jauh kata menyerah. Cara kami memaknai kata-kata itu tentu tidak sehebat cara Pi'ik menjalani laku hidupnya. Bagiku, dia adalah penjelmaan dari never give up! itu sendiri.

Nak, kami tentu akan berusaha agar kau tidak mengalami nasib yang sama seperti Pi'ik, agar kau tidak harus berjalan kaki selama enam jam setiap hari, agar kau tidak harus mencarikan kami buah dan memasak untuk kami. Tapi bersiaplah, hidup itu tidak selamanya menyenangkan. Kau akan menghadapi banyak sekali riak, ombak, bahkan tsunami. Tapi aku ingin kau ingat satu hal, jangan pernah menyerah. Karena dengan itulah hidupmu akan bermakna, untukmu, dan untuk orang lain.

Never give up, Nak!

Friday, January 30, 2015

#2: Jalan-jalan

Halo! Apa kabar, Nak? Sekarang sudah jam 6 sore, tapi aku masih di kantor. Biasa, internetan gratis. Ngomong-ngomong, tiba-tiba aku teringat lirik dari sebuah lagu milik Indie Art Wedding, isinya begini:

Anakku, anakku, lelaplah sayang. Mimpikan ayah-ibumu banyak waktu luang, banyak perhatian, juga jalan-jalan, ke pantai dan pegunungan. Keluarga riang...

Di zaman kami, sedang ngetren istilah "kurang piknik". Segala perilaku dan ucapan orang-orang yang tidak masuk akal atau keterlaluan bodohnya, langsung kami cap dengan perilaku orang yang kurang piknik. Lewat kolom komentar di internet, biasanya kami menyuruh mereka untuk piknik. Tapi kamu tahu? Sebenarnya kami mengatakan itu karena sesungguhnya kamilah yang butuh piknik!

Lewat surat ini, aku ingin mengingatkanmu untuk mengingatkan kami kalau sering lalai mengajakmu piknik. Kamu boleh mengajak kami piknik ke mana saja, bisa ke kebun binatang seperti orang normal, atau kalau kamu penasaran, ke rumah seorang dukun sakti di Bantul sana juga boleh.

Sebagai penutup, ini foto-foto kami waktu jalan-jalan akhir tahun kemarin:

Pertama, kami nonton dangdut di alun-alun. Kami tidak terlalu suka dangdut sih. Biasa saja. Tapi acara dangdutan ini banyak hadiahnya.

Dari acara dangdutan itu, kami dapat hadiah doorprize nonton peluncuran roket di Amerika. Ini kami foto di depan roket.

Pulangnya, kami mampir dulu di Paris. Di belakang kami itu namanya Menara Eiffel. Banyak yang bilang ini salah satu tempat paling romantis di dunia. Menurut kami sih mirip menara SUTET.

Begitulah, Nak. Surat ini aku sudahi saja ya. Ayo jalan-jalan!

Tuesday, January 27, 2015

#1: Halo!


Halo! Apa kabar, Nak? Ini surat pertama dariku, ayahmu. Aku dan ibumu berjanji untuk menulis surat-surat digital untukmu. Surat yang selain berfungsi sebagai sapaan hangat kami kepadamu dari masa lalu, juga sekaligus sebagai media untuk menjaga jiwa kami tetap benderang dengan cara menulis. Kau tahu, konon menulis adalah obat terbaik bagi jiwa. Tapi entahlah, mungkin kamu bisa menanyakannya pada ibumu. Ia seorang (calon) psikolog, pasti lebih paham masalah jiwa.

Ngomong-ngomong, aku senang bisa memulai menulis surat pertama ini. Ketahuilah, walaupun aku tidak pernah sekalipun menyebut diriku sebagai penulis, dulu menulis adalah bagian dari hidupku. Sepertinya dulu hampir setiap hari aku menulis. Tapi beberapa bulan (emm, mungkin tahun lebih tepatnya) ini, aku sudah sangat jarang menulis. Maksudku, menulis dari hati, menulis untukku dan orang-orang terdekatku.

Maka, Nak, terima kasih, karena kamu memberikan alasan lagi kepadaku untuk menulis. Walaupun pada saat menulis ini, kamu bahkan belum ada dalam kandungan ibumu. Tapi kami akan setia menunggumu, sembari terus menumpuk rasa cinta kami lewat surat-surat ini.