Thursday, December 31, 2015

#12: Mandi

Halo! Apa kabar, Nak? Aku akan bahas salah satu kegiatan favoritmu saat ini: mandi! Betulan, Nak, kamu suka mandi, beda sama Ibumu.

Setelah lahir, waktu di rumah sakit, kamu dimandiin sama perawat. Waktu udah boleh dibawa pulang, kami belum berani mandiin kamu. Akhirnya eyangmu yang mandiin. Kami cuma ngeliatin sambil sok-sokan bawain botol sabun dan handuk. Setelah aku kembali ke Kalimantan, ibumu pelan-pelan belajar mandiin. Pertama masih dibantuin eyangmu, tapi lama-lama dia bisa sendiri.

Minggu kemarin, waktu aku pulang ke Jogja, aku juga ga mau kalah, pengen mandiin kamu. Sambil disupervisi dan diawasi ketat sama ibumu, aku mulai ritual itu.

Pertama, aku nyiapin ember mandi warna hijaumu, terus masukin air ke dalemnya dengan komposisi seperempat ceret air panas dan tiga gayung air dingin.

Langkah selanjutnya, badan, wajah, dan rambutmu yang tebal itu akan disabunin pakai lap kecil yang udah dibasahin. Terus, pelan-pelan kamu diangkat ke dalam ember. Segera setelah kamu masuk ke dalam air hangat itu, wajahmu nunjukkin raut sumringah dan kakimu goyang-goyang. Kata ibumu, itu tandanya kamu suka mandi, dan pasti juga suka berenang. Pernah ibumu pingin ngajak kamu berenang. Kapan-kapan aja deh, kataku, karena aku takut kamu tenggelam. Kan pakai pelampung, sahut ibumu. Ya tetep aja serem, kataku lagi. Akhirnya berenang masuk dalam daftar wacana.

Balik lagi ke mandi. Setelah busa yang menempel di tubuhmu bersih, kamu akan diangkat lagi dan dibaringin di atas handuk. Kami akan segera mengeringkan tubuhmu, mengusap minyak telon, memakaikan popok, celana, baju, dan membungkusmu dengan kain. Semua itu harus dilakukan dengan super cepat. Kalau enggak, nanti kamu menggigil kedinginan. Kadang kamu muntah saking dinginnya. Setelah kamu rapi jali, rambutmu diolesi minyak rambut, terus disisir belah pinggir ke kiri. Terakhir, mukamu dikasih bedak. Yak, selesai!

Kami paling suka kalau kamu habis mandi. Pertama, kamu wangi. Gabungan bau sabun mandi, minyak telon, minyak rambut, dan aroma susu yang keluar dari mulutmu bikin kamu nyaman banget digendong. Kedua, rambutmu kalau masih basah kelihatan rapi. Kalau sudah kering, njigrak ke atas, kayak anak punk. Tapi, seperti apapun bau atau bentukmu, kami tetap sayang kamu kok, Nak. Hehe.

Penampakanmu tiap abis mandi. <3

#11: Horeee, Kamu Lahir!

Halo! Apa kabar, Nak? Ngomong-ngomong, kamu sudah lahir lho!

Sebenernya telat banget aku nulis surat ini. Kamu lahir lebih dari sebulan yang lalu. Tepatnya hari Kamis Wage, 26 November 2015, jam setengah lima sore. Seru lho proses kelahiranmu.

Jadi ceritanya, HPL atau Hari Perkiraan Lahiran-mu adalah tanggal 18 November. Artinya, sama dokter, kamu diperkirakan bakal lahir tanggal segitu. Tapi, namanya juga perkiraan, HPL itu ga selalu tepat. Waktu kelahiran bayi bisa meleset satu sampai dua minggu lebih cepat atau lebih lambat dari HPL. Nah, karena itu, aku udah ancang-ancang ambil cuti dari jauh hari.

Akhirnya, tanggal 13 November aku pulang ke Jogja. Sengaja agak jauh dari HPL, biar kalau tiba-tiba lahiranmu maju, aku udah siap di Jogja. Tapi, sampai tanggal 18, ibumu belum juga nunjukin tanda-tanda mau melahirkan. Mules aja jarang, padahal tiap pagi kami jalan kaki biar ngebantu lahiranmu. Kayaknya kamu masih betah di perut.

Beberapa waktu kemudian, dokter ngasih tau kami, kalau sampai H+7 HPL kamu belum lahir, ibumu harus diinduksi. Induksi tu semacam metode yang diberikan untuk ngebantu mempercepat proses lahiran. Kata dokter, kalau makin lama di dalam kandungan, kamu bisa keracunan air ketuban yang bakal makin keruh. Dan bukan cuma kamu yang berisiko, Nak, kondisi kayak gitu juga berbahaya buat ibumu.

Akhirnya, tepat seminggu setelah HPL, tanggal 25 November, karena ibumu belum ngasih tanda-tanda untuk melahirkan juga, kami sepakat pergi ke rumah sakit. Ya, ibumu akan diinduksi. Di rumah sakit, dokter ngejelasin kalau ibumu akan dikasih obat secara berkala untuk merangsang kamu keluar. Kalau obatnya ga mempan, nanti bakal dibantu pakai infus, kalau ga mempan juga, terpaksa harus operasi sesar buat ngeluarin kamu.

Ibumu pertama dikasih obat jam 1 siang. Karena belum nunjukin gejala apa-apa, dan masih bisa jalan-jalan bareng aku di sekitar rumah sakit, ibumu dikasih obat yang kedua jam enam sore. Masih belum kerasa juga.

Besok paginya, tanggal 26, jam enam pagi, dikasih obat yang ketiga. Baru lah kerasa yang ini. Ibumu mulai ngerasa mules. Abis makan pagi, muntah. Perutnya makin kenceng. Setelah itu, ibumu udah ga kuat bangun lagi. Makan pun sambil tiduran. Akhirnya, jam satu siang, ibumu bilang rasa sakit di perutnya udah ga ketahan lagi. Aku manggil perawat, dan diputuskan ibumu harus segera dibawa ke ruang bersalin. Cuma satu orang yang boleh nemenin di ruang bersalin, maka hanya aku yang ikut, sementara orangtuaku (kamu manggil mereka Abah dan Ambu) dan orangtua ibumu (kamu manggil mereka Eyang) nunggu di kamar perawatan.

Di ruang bersalin, kami masih harus nunggu dokter kandungan kami yang baru berangkat dari rumahnya. Padahal, perut ibumu udah makin mules. Ada gunanya juga aku bawa jaket ke ruang bersalin, bisa sedikit ngelindungin tanganku yang terus-terusan dicubit dan dicakarin sama ibumu buat nahan sakit.

Sembari nunggu dokter dateng, perawat dateng meriksa kondisi ibumu. Dia bilang, ibumu udah bukaan sembilan! Artinya, tinggal sedikit lagi kamu keluar. Kami makin cemas nunggu si dokter yang ga dateng-dateng. Tapi, para perawat di situ bilang supaya kami tetap tenang.

Sekitar setengah jam kemudian, ibu dokter dateng. Ia langsung make baju khusus, sarung tangan, dan nyuruh perawat buat nyiapin alat-alat persalinan. Bentar lagi atraksinya dimulai! Kamu inget kan, Nak, aku pernah janji sama ibumu buat nemenin dia melahirkan sambil megang tangannya? Janji itu kupenuhi, Nak. Aku duduk di samping ibumu, megang tangannya, sesekali nyodorin botol minum, dan ga berhenti ngasih semangat.

Semangat itu ga cuma dateng dari aku lho. Ibu dokter dan seluruh perawat nyemengatin ibumu untuk lebih kuat lagi ngedorong kamu keluar. Dan akhirnya, tepat jam setengah lima, kamu keluar, Nak! Aku ngeliat jelas bentukmu yang masih belepotan air ketuban, lemak, dan darah. Perawat langsung ngebawa kamu untuk dibersihin. Samar-samar kami bisa denger suara tangisanmu yang lucu itu. Aku langsung ngusap kepala ibumu dan ngecup dahinya. "Kita jadi ortu, coy," kataku. Ibumu masih setengah sadar, kayaknya pengaruh obat.

Ga berapa lama, kamu dibawa lagi ketemu kami untuk dilakuin IMD atau Inisiasi Menyusui Dini. Artinya, instingmu dilatih untuk mencari puting susu ibumu. Kamu yang masih sangat lemah itu ditaruh di atas dada ibumu yang masih lemes. Itu pertama kalinya kami berada sangat dekat denganmu, Nak. Mukamu paling cuma 5 sentimeter dari mukaku. Bahagia sekali rasanya kami saat itu, Nak.

Hal pertama yang aku lakukan adalah membunyikan bacaan azan di telingamu. Tau ga, Nak, kapan terakhir kali aku azan? Kelas empat SD, dalam rangka lomba azan di masjid. Waktu itu aku kalah dalam lomba, dan tentu saja ga dapet hadiah. Tapi kali ini, sejelek apapun bacaan azanku, aku udah dapet kamu, Nak, hadiah paling berharga yang pernah aku punya. :)

Oh iya, kami menamaimu Kirana Lintang Utara. Lain waktu akan kuceritakan kenapa kami memberimu nama itu.

Bentukmu beberapa jam setelah lahir. Super cute!