Tuesday, April 12, 2016

#20: Seri Dongeng: Kirana dan Bunga Berwarna Merah Jambu

Halo! Apa kabar, Nak? Dua malam yang lalu, sebelum tidur, Bapak nyeritain kamu sebuah dongeng. Dongeng ini dadakan Bapak bikin, terinspirasi dari gambar di baju yang kamu pakai. Dongengnya kayak di bawah ini.

***

Ada seorang anak gadis bernama Kirana. Ia adalah anak yang manis dan menyayangi kedua orangtuanya, meski sesekali suka berbuat iseng, seperti berpura-pura menangis padahal tidak sedang sedih, sehingga membuat bingung ibunya.

Suatu hari, ia ingin memberi hadiah kepada orangtuanya. Padahal, tak ada satupun dari kedua orangtuanya yang berulangtahun. Ini juga bukan hari ibu, atau hari ayah. Ini hari yang biasa saja. Gagasan memberi hadiah itu tiba-tiba saja muncul di kepalanya, tanpa alasan yang jelas.

Kirana berpikir, hadiah apa kira-kira yang mampu ia berikan. Sesuatu yang tidak membutuhkan biaya, yang jelas, karena anak seusianya tidak memiliki uang. "Aha!" pikirnya dalam hati, "aku akan memberi mereka segerobak bunga". Lebih spesifik lagi, bunga berwarna merah jambu. Kenapa bunga dan kenapa berwarna merah jambu, lagi-lagi, tidak ada alasan khusus. Benda itu terlintas begitu saja dalam benaknya.

Sayangnya, di sekitar rumahnya tidak ada bunga berwarna merah jambu. Kalau bunga berwarna lain ada. Banyak malah. Biru, kuning, hijau, putih, abu-abu, ungu, oranye, merah marun. Tapi tidak ada merah jambu. Sejenak ia berpikir untuk mengganti hadiahnya dengan bunga berwarna biru yang tumbuh tepat di samping pagar rumahnya. Tapi pikiran itu segera ia tepis. Aku ingin mencari bunga berwarna merah jambu, katanya teguh. Selain manis, ia juga berhati teguh dan berjiwa petualang.

Maka, ia mengambil gerobak mungilnya, lalu mendorongnya ke luar rumah, mengikuti instingnya dalam mencari bunga berwarna merah jambu. Ia berjalan terus sampai ke ujung desa, menyeberangi sungai kecil, sampai akhirnya masuk ke hutan. Kirana yakin, ia akan mendapatkan bunga berwarna merah jambu itu di hutan ini. Radar alami di dalam hatinya yang mengatakan itu.

Dengan mantap, ia menyeret kakinya menembus rimbun pepohonan. Orang bilang, di dalam hutan banyak hewan yang suka menggigit. Namun Kirana tidak takut. Ibunya mengajarkannya bahwa semua hewan adalah temannya. Mereka tidak akan menggigit jika kita tidak menggigit duluan.

Semakin masuk ke dalam hutan, semakin gelap dan dingin auranya. Ia lupa sudah berapa lama berjalan mendorong gerobaknya, mungkin sekitar sepuluh kilometer. Akhirnya, ia sampai di sebuah tanah lapang di balik pohon cemara. Di sana, ia menemukan padang bunga beraneka bentuk, semuanya berwarna merah jambu. "Horee!" teriaknya.

Kirana lantas memetik beberapa tangkai bebungaan tersebut, sembari mengucapkan permisi sebelumnya. "Permisi ya, ladang bunga. Aku minta sedikiiit saja dari kawananmu, beberapa tangkai saja," katanya.

Angin meniup bunga-bunga, membuat mereka bergerak-gerak seperti mengangguk. Mungkin pertanda setuju.

Kirana berjalan pulang, mendorong gerobaknya yang sekarang sudah penuh terisi bunga berwarna merah jambu. Namun, hari semakin gelap. Ia tidak memperhitungkan waktu, ternyata ia terlalu lama berada di dalam hutan. Langit yang gelap ditambah rapatnya pepohonan membuatnya bingung dengan jalan yang harus ia lalui.

Kirana akhirnya sadar kalau ia tersesat. Air mata mulai menetes di pipinya yang tembem. Bukan, ia bukan takut kepada hewan buas atau hantu. Ia sedih, karena orangtuanya pasti khawatir mencarinya. Ia duduk di sejulur akar. Ia mencoba tenang dan berpikir rasional. Meski, tentu saja, sulit untuk berpikir rasional dalam keadaan yang tidak menyenangkan.

Ia menimbang-nimbang untuk bermalam saja di situ, dan mencari jalan pulang esok pagi ketika hari sudah mulai terang. Selain hari yang gelap, kakinya juga mulai bengkak, terasa sakit dan panas jika dipakai berjalan. Namun, bayangan akan kedua orangtuanya yang khawatir semakin mengganggunya. Mau tidak mau aku harus pulang malam ini, katanya.

Di tengah gelap dan keletihannya, ia mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk berpikir, apa kiranya yang bisa ia lakukan untuk keluar dari keadaan itu. Ia lantas teringat sebuah pesan dari ayahnya:

"Jika kau berada dalam keadaan yang sangat sulit dan merasa tidak bisa berbuat apa-apa, maka serahkanlah semuanya pada semesta."

Teringat pesan itu, Kirana lalu memejamkan mata. Mencoba rileks dan percaya sepenuh hati bahwa semesta akan menolongnya. Ia menyeka keringat di wajahnya dan mencoba mengatur nafasnya. Semakin merasa rileks, semakin ia merasa tenaganya mulai datang lagi. Dengan matanya yang masih terpejam, pelan-pelan ia merasa ada cahaya di depan wajahnya.

Ia membuka mata, dan melihat segerombolan kunang-kunang beterbangan di sekitarnya. Dengan suatu bahasa yang sulit dijabarkan, mereka mengatakan akan membantunya menerangi jalan pulang. Kemudian, ia mendengar siulan burung elang yang melayang-layang di atasnya. Si burung elang bersedia membantunya sebagai navigator dari udara.

Kemudian, datang empat ekor tupai, tiga ekor rubah, serta dua ekor kijang. Mereka berkomitmen untuk membantunya mendorong gerobak yang mulai terasa berat itu.

Dari sebuah semak-semak, melompat seekor macan yang sangat besar. Wajahnya yang sangar, taringnya yang besar, serta cakarnya yang tampak setajam pisau, sempat membuat Kirana dan teman-teman barunya sedikit takut.

Namun, si macan cepat-cepat mengeluarkan wajah yang ramah, memasukkan taring dan cakarnya, dan merendahkan tubuhnya di depan Kirana, seolah berkata, "Kirana, naik ke punggungku".

Maka begitulah, rombongan yang ganjil itu berjalan menyusuri rimba. Dari atas, si burung elang mengarahkan rombongan menuju arah yang tepat. Gerombolan kunang-kunang berada paling depan, menjadi semacam senter yang lumayan terang. Di belakangnya berjalan macan dengan Kirana duduk menunggangi punggungnya.

Di paling belakang, kijang-kijang dan rubah-rubah mendorong gerobak berisi bunga berwarna merah jambu. Sementara para tupai, yang tadinya berkata akan ikut membantu mendorong, akhirnya malah asyik tidur-tiduran di atas tumpukan bunga.

Akhirnya mereka sampai di ujung hutan. Di seberang sana, di ujung desa, tampak kedua orangtua Kirana dan penduduk desa berjalan ke sana kemari sambil membawa senter. Jelas mereka sedang mencari Kirana yang hilang sejak tadi pagi.

Sekali lagi, dengan suatu bahasa yang sulit dijabarkan, teman-teman Kirana berkata mereka hanya bisa mengantarnya sampai di sini. Jika para penduduk desa melehat kami, agak repot nanti, kata mereka. Kirana melompat dari punggung macan, dan memeluk mereka satu-persatu. Kecuali kunang-kunang yang tubuhnya terlalu kecil, dan si burung elang yang masih berputar-putar di langit.

Kirana mendorong gerobaknya menuju kerumunan itu. Kedua orangtuanya segera berlari memeluknya.

"Dari mana saja kamu, Nak?"

"Seharian ini aku mencari bunga berwarna merah jambu, hadiah untuk kalian. Ini, aku bawakan satu gerobak penuh."

"Bagus sekali, Nak. Terima kasih. Tapi, lain kali, tak perlu repot mencarikan kami hadiah. Senyummu saja adalah hadiah paling indah yang bisa kami terima, Nak."

Mereka bertiga dan penduduk desa kembali ke rumah masing-masing. Kirana digendong ayahnya, sedangkan ibunya berjalan di sampingnya sambil mendorong gerobak berisi bunga berwarna merah jambu. Kirana tersenyum dan melambaikan tangan ke arah hutan. Di balik gelapnya pepohonan, samar-samar ia melihat teman-temannya juga tersenyum ke arahnya.