Saturday, October 10, 2015

#8: Misteri Terpecahkan!

Halo! Apa kabar, Nak? Maafkeun kedua orangtuamu yang tidak bisa konsisten menulis surat. Terutama ibumu, tuh. Dia baru menulis satu, sementara ini surat ketujuhku.

Kali ini, aku akan bercerita tentang kabar terbaru tentangmu. Akhirnya kami tahu jenis kelaminmu, plus, kami juga melihat wajahmu!

Seperti yang kusampaikan sebelumnya, pada saat kau berusia lima bulan di dalam kandungan, kami melakukan pemeriksaan rutin ke dokter. Harusnya, saat itu jenis kelaminmu sudah bisa terlihat. Namun, dari tampilan alat USG yang canggih itu, kaki mungilmu menutupi area kelamin, sehingga kami pulang dengan sedikit kecewa.

Bulan depannya, yaitu bulan keenammu dalam kandungan, aku tidak bisa pulang ke Jogja. Ibumu pergi periksa ke dokter ditemani nenekmu (atau 'simbah'? Ah, masalah panggilan itu kita bahas nanti saja). Karena aku dan ibumu sudah berjanji untuk mengecek jenis kelaminmu saat kami sedang bersama, maka pada bulan keenam ibumu tidak bertanya pada dokter tentang itu.

Bulan ketujuh, inilah saat yang kami tunggu-tunggu. Di tengah kabut asap, aku terbang ke Bandung. Ibumu sudah menunggu di sana. Sorenya, kami pergi ke rumah seorang dokter kandungan di daerah Cilaki. Kami sudah berencana untuk melakukan USG 4 dimensi, metode canggih yang selain bisa melihat jenis kelaminmu, juga bisa mengambil potret wajahmu di dalam kandungan sana.

Namun, harapan kami yang sudah tinggi untuk mengetahui jenis kelaminmu pun harus pupus lagi. Saat diperiksa, posisi badanmu menghadap ke belakang! Dokter mengatakan, dengan posisimu yang seperti itu, percuma jika kami melakukan USG 4 dimensi, karena kami hanya akan mendapat gambar punggungmu saja. Namun, syukurlah, dari pemeriksaan ini, kami mengetahui kalau kau dan ibumu sehat, Nak.

Sebenarnya, kesehatanmu di dalam sana itulah yang paling penting. Jenis kelamin sih nomer dua. Beberapa teman dan keluarga bahkan mengusulkan kami untuk tidak usah memeriksakan jenis kelaminmu saat di dalam kandungan, biar menjadi kejutan saat kau lahir. Tapi, bagaimana lagi, aku orangnya gampang penasaran. Maka, kami bertekad untuk melakukan pemeriksaan sekali lagi di Jogja.

Minggu depannya, kami mendatangi klinik dokter di daerah selatan Jogja. Di sanalah misteri itu terjawab! Sebelumnya, dokter memeriksa posisimu di dalam kandungan. "Posisi bayinya miring. Agak susah untuk 4 dimensi, tapi mudah-mudahan bisa," katanya. Kemudian ia mengutak-atik monitor dan alat USG di tangannya.

Nak, aku baru tahu kalau alat kedokteran itu begitu canggih. Ada sebuah alat yang dapat menunjukkan wajah bayi yang masih berada di dalam perut ibunya. Awalnya, tanganmu tampak menutupi wajahmu yang tampak samping itu. Dokter menyuruhku untuk memanggilmu, agar kau mau menggerakkan kepalau, atau setidaknya menurunkan tanganmu, supaya wajahmu terlihat lebih jelas.

"Nak, lihat sini, Nak," kataku berulang kali sembari mengusap-usap perut ibumu. Dokter bilang wajahmu belum begitu jelas terlihat. Aku mencoba kembali berkomunikasi denganmu. Jujur saja, aku merasa agak sia-sia. Namun, di layar monitor, terlihat wajahmu pelan-pelan menoleh. Tanganmu yang tadinya menutupi, pelan-pelan bergeser ke bawah.

Nak, untuk pertama kalinya, kami melihat wajahmu! Itu salah satu pengalaman terbaikku dalam hidup. Melihatmu wajahmu, Nak! Melihatmu bergerak-gerak!

"Ini wajahnya, Mas, Mbak. Idungnya mancung tuh," kata dokter. Ia berkali-kali mengambil potret wajahmu.
Kau umur 7,5 bulan di dalam kandungan. Hitam-hitam di kepalamu itu adalah bayangan dinding rahim ibumu, bukan rambut.

Selain melihat wajahmu, kami juga mendapat banyak sekali informasi penting dari Pak Dokter. Dokter ini memang beda dibanding dokter-dokter lain yang kami temui selama ini. Ia begitu semangat menjelaskan begitu banyak hal. Mulai dari angka detak jantungmu, hingga panjang pahamu yang ada hubungannya dengan umur kehamilan. Syukurlah, kami semakin diyakinkan bahwa kau sehat di dalam sana, Nak. Semuanya sehat, semuanya normal.

Akhirnya, Pak Dokter memberikan kami informasi penting itu: jenis kelaminmu. Ia menggerak-gerakkan alat di tangannya, kemudian menunjukkan gambar kepada kami di layar monitor. "Itu kelaminnya," katanya. Aku dan ibumu berpandangan. Bukan karena tercerahkan, tapi karena tak paham. Gambar yang ia tunjukkan di layar monitor itu menggunakan alat USG biasa, bukan 4 dimensi seperti tadi, sehingga kami kesulitan menerjemahkannya.

"Hmm, itu liatnya gimana ya, Dok? Saya ga paham," tanyaku.

"Anaknya perempuan, Mas, Mbak."

"Yakin, Dok?"

"Yah, 99% lah."

Itulah jawabannya, Nak. Kau perempuan! Yah, meskipun alat itu mungkin saja meleset hasilnya, dan apapun bisa terjadi, namun kami berdua sangat lega mendengar jawaban itu. Setelahnya, kami tak henti bergandengan tangan, bahkan sampai di dalam mobil.

Sehabis ini, PR kami adalah mencari nama untukmu. Sebenarnya kami sudah merumuskan beberapa nama sih. Tunggu saja, kami akan konsolidasi dulu demi nama yang terbaik untukmu.

Hey, ngomong-ngomong, kau lahir sebentar lagi, lho. Menurut dokter, hanya tinggal sebulan lebih sedikit lagi. Ibumu uring-uringan terus menyuruh aku segera mengurus cuti. Ia khawatir aku datang terlambat saat kau lahir. Namun, aku telah berjanji padanya, aku akan ada di sisinya, memegang tangannya saat hari itu datang.

Maka, untuk memuluskan janjiku pada ibumu, aku minta tolong kepadamu. Tunggu aku, Nak. Tolong jangan keluar dulu sebelum aku sampai di Jogja.

Aku ingin ada di sana pada hari-hari menjelang kelahiranmu. Aku ingin menggosok punggung atau memjiat kaki ibumu sebelum tidur (saat hamil, ia senang sekali dua hal itu), membuatkannya teh di pagi hari agar badannya terasa enak, memasak atau membelikan makanan untuknya, hingga mengantarnya ke rumah sakit, memegang tangannya, dan jadi orang pertama yang menimangmu begitu kau lahir (eh, bukan orang pertama ding, pokoknya setelah dokter dan perawat lah).

Bisa kan kau menolongku? Janji, ya? Aku menyayangimu, Nak. :)