Tuesday, May 19, 2015

#6: Jarak dan Jeda


Halo! Apa kabar, Nak? Ini ayahmu lagi. Surat keenam ini kembali ditulis olehku, setelah ibumu (akhirnya!) menulis surat nomer lima.

Hari ini, aku akan bicara tentang jarak. Nak, ketahuilah, semenjak aku dan ibumu menikah, sampai hari ini ketika usiamu di dalam kandungan sudah sekitar hampir tiga bulan, kami tinggal berjauhan. Ibumu tinggal di Jogja, kota yang sangat kami cintai, dan kelak akan kau cintai juga, sementara aku tinggal di sebuah kota kecil di Kalimantan Selatan.

Ibumu sedang berusaha menyelesaikan tesisnya di kampus, dan aku sedang menjadi karyawan sebuah perusahaan tambang batubara. Itulah kenapa kami belum bisa tinggal bersama. Setelah menikah lima bulan yang lalu, kami baru bertemu sebanyak empat kali. Sekali bertemu paling lama hanya lima hari. Untuk bertemu ibumu di Jogja, aku harus melewati jalan darat selama lima jam, dilanjutkan terbang dengan pesawat selama satu jam lima belas menit. Jarak di antara kami hampir sembilan ratus kilometer.

Nak, aku sangat mencintai ibumu, dan sangat ingin terus berada di dekatnya. Aku kadang merasa sedih dan bersalah karena tidak ada di dekatnya dalam dua momen yang sangat penting dalam hidupnya: membuat tesis dan mengandung anak pertamanya, yaitu kamu. Dan percayalah, Nak, keputusan untuk hidup berjauhan seperti ini memang tidak mudah, untuk ibumu, juga untukku.

Mungkin kau bertanya, "Ayah, kenapa kau tidak berhenti saja dari pekerjaanmu dan pindah ke Jogja?". Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, Nak. Mungkin besok, namun tidak hari ini. Kelak, kau akan memahami, isi kepala orang dewasa memang ruwet. Tapi kenyataannya memang begitu, tidak semua perkara yang sederhana bisa disederhanakan.

Tapi, Nak, orang bilang selalu terselip kebaikan di balik segala sesuatu, termasuk jarak yang memisahkan kami ini. Kamu tahu, waktu kecil, aku sangat suka nonton film kartun di tivi, seperti Dragon Ball, Samurai X, atau B'T X. Film-film kartun itu disiarkan seminggu sekali. Beberapa menit sebelum film kartun itu dimulai, aku akan merasa berdebar-debar saking gembiranya, karena aku sudah menunggu seminggu penuh untuk momen indah itu. Beberapa menit sebelum film kartun itu habis, aku akan sangat sedih karena harus menunggu seminggu sebelum menontonnya lagi. Begitu seterusnya.

Momen yang kurasakan setiap minggu itu, Nak, disebabkan oleh jeda. Jarak dan jeda adalah saudara kembar. Jarak biasanya digunakan dalam konteks ruang, sementara jeda digunakan dalam konteks waktu. Namun keduanya sama-sama memberi ruang sela, jarak pada ruang dan jeda pada waktu. Itulah yang kami alami sekarang, Nak. Kami disekat oleh jarak dan jeda secara bersamaan. Jarak sejauh 900 kilometer, dan jeda untuk bertemu yang lebih dari sebulan sekali.

Namun sama seperti pengalamanku menonton film kartun, momen ketika aku bertemu ibumu di Jogja adalah momen yang sangat menyenangkan, karena aku telah menunggu selama lebih dari sebulan untuk itu. Ketika tiba saatnya aku harus kembali ke Kalimantan, aku memang sedih, tapi aku tahu kami akan segera bertemu lagi. Jarak dan jeda di antara kami membuat kebersamaan kami menjadi lebih berharga.

Jadi, bersiaplah wahai kamu yang sedang menggeliat manja di dalam perut istriku, tak lama lagi kita akan bertemu, dan kita berdua pasti tahu, saat ini aku berdebar-debar saking gembiranya menunggu momen itu.