Saturday, February 6, 2016

#13: Rambut

Halo! Apa kabar, Nak? Ah, sebenernya kami ga pernah manggil kamu dengan panggilan "nak", tapi "dek". Ga papa lah ya, terlanjur nama blognya begitu.

Dek Rana, di surat ini aku pengen cerita tentang rambutmu. Jadi, waktu lahir, rambutmu tu tebel banget. Gondrong. Orang-orang juga pada kagum sama rambutmu itu, yang anehnya ga keriting kaya rambut bapak dan ibuk. Kayak yang aku bilang sebelumnya, aku suka sama rambutmu, apalagi kalau abis mandi.

Gondrong, tapi kadang kayak Andika Kangen Band.        

Tapi, dalam tradisi Islam (dan Jawa mungkin), ada keharusan kalau seorang bayi yang baru lahir harus digundulin. Aku nolak kamu digundulin. Kalau ibumu sih selow-selow aja. Mau digundulin ga papa, enggak juga ga papa. Orang-orang bilang, rambut bayi yang baru lahir itu kotor. Kan bisa dikeramasin, kataku. Ya tetap aja kotor, kata mereka lagi.

Selama beberapa waktu, aku tetep ngeyel ga ngebolehin rambutmu dipotong. Tapi, lama-lama kasian juga liat kamu kayak kegerahan gitu sama rambutmu. Setelah tak pikir lagi, karena si Abah, Ambu, Yangkung, dan Yangtimu kekeuh nyuruh dipotong, akhirnya kubolehin juga. Akhirnya rambutmu dipotong setelah umurmu lebih dari sebulan. Ini foto-fotonya:



Ini kamu beberapa hari setelah digundulin:


Dan ternyata emang kulit kepalamu kotor. Ada benernya juga kenapa bayi harus digundulin, supaya kulit kepalanya bisa dibersihin dari kotoran dan debu. Itu foto-foto bulan kemarin. Sekarang sih rambutmu udah lebih banyak, walaupun ada pitaknya sedikit. Biarin, bentar lagi juga gondrong lagi. Horee!

No comments:

Post a Comment